100 Hari Pertama di Muenster, Jerman

Intro

Ini bukan kisah tentang 100 hari pertama seorang presiden terpilih tentunya, karena saya kebetulan bukan sedang menjadi presiden. Ini tentang cerita memulai hidup di Jerman, di 100 hari pertama. Sudah lebih dari 100 hari sih, tapi ya sudahlah. Kalau 101 nanti dikira anjing dalmatian.

Konon, ketika memulai suatu fase kehidupan, 100 hari itu waktu yang cukup untuk beradaptasi. Entah beradaptasi dengan hal yang disuka, dengan yang tidak disuka, maupun sampai merasa nyaman. Mungkin terkait dengan culture shock. Ini berlaku ketika kita pindah ke tempat baru, pindah kerja, menikah, dan seterusnya. Kayaknya sih ada hipotesisnya, tapi pas gugling gak nemu-nemu. Kalau belum ada, ya boleh lah saya klaim. Wkwkwk.

100 hari itu setara kurang lebih 3 bulan. Mungkin itulah kenapa kalau ada masa uji coba 3 bulan ketika pindah kerjaan. Kalau dalam hal pindah tempat tinggal, mungkin 3 bulan waktu yang cukup untuk tahu seluk beluk tempat baru, ngurus administrasi, beli alat rumah tangga, tahu lokasi warung yang murah, dan seterusnya. Jadi, ini saya mau sharing-sharing tentang hal itu. Tentang 100 hari pertama saya di Jerman.

Administrasi

Administrasi di Jerman cukup membuat saya dan istri khawatir. Bahkan dimulai sejak sebelum pindah ke Jerman untuk pengurusan visa. Kami mengajukan visa (studi untuk saya dan kumpul keluarga untuk istri) dari Spanyol. Beberapa persyaratan kami tidak miliki. Repot juga kalau harus pulang ke Indonesia hanya untuk mengambil dokumen atau legalisir. Nyari-nyari referensi yang memiliki kasus yang sama dengan kami, juga ndak ketemu. Tapi, alhamdulillah, pada akhirnya, kami berhasil mendapatkan visa.

Ketika sampai, kami diharuskan lapor diri dan alamat tinggal kami. Ini cukup mudah sih. Lalu kami harus mengajukan ijin tinggal alias resident permit. Ini yang deg-degan juga. Ada syarat yang tidak kami miliki, misalnya sertifikat bahasa Jerman. Belum lagi syarat finansial, wkwkwk. Pokoknya deg-degan lah. Tapi, alhamdulillah, dikasih ijin tinggal.

Tempat Tinggal

Nyari tempat tinggal di kota kami, Muenster, susahnya minta ampun. Nyari untuk satu orang saja, alias kos-kosan, susah. Nyari untuk keluarga seperti kami, makin susah lagi. Kira-kira 10x lebih susah lah. Soalnya jarang yang menyewakan untuk keluarga. Kami mengirim lebih dari 100 pesan ke pemilik tempat tinggal, paling cuma 10-15% yang membalas. Dan lebih sedikit lagi yang membalas dengan respon positif. Dari yang positif itu, makin sedikit yang sesuai dengan kebutuhan kami.

Sempat tinggal di bekas barak tentara yang diubah jadi tempat tinggal (tanpa kulkas, kamar mandi yang sharing) selama beberapa waktu. Akhirnya kami memperoleh juga. Agak jauh dari kampus, tapi menurut kami, sudah pas (dengan dengan halte, tempat belanja, cahaya matahari melimpah, dan lingkungan sekitar yang nyaman).

Tempat tinggal dari samping

Masih ada drama lanjutan tentang tempat tinggal ini aslinya, tapi untuk konsumsi pribadi saja. Wkwkwk.

Hal lain tentang tempat tinggal adalah perabot-perabotnya. Kita dapat tempat tinggal kosongan (dan seringnya memang kosongan). Jadi kita perlu nyari-nyari. Biasanya nyari di https://ebay-kleinanzeigen.de. Ini semacam situs untuk nyari barang bekas. Ada yang gratis bahkan. Tapi, yang jadi masalah selanjutnya adalah membawa si barang. Kalau bisa dicangking sih enak. Lha kalau kayak lemari atau kasur, susah bung.

Orang Indonesia

Salah satu hal yang patut disyukuri, di Muenster ada lumayan banyak orang Indonesia. Tidak sebanyak di Jogja tentunya, wkwkwk. Tapi sudah sangat membantu buat nanya-nanya, minjem-minjem, dan seterusnya. Apalagi kalau sudah kumpul-kumpul seperti di pengajian atau buka puasa bersama. Menyenangkan sekali. Dan mengenyangkan sekali tentunya.

Sekarang, jika perlu pindah ke tempat lain, salah satu hal yang menjadi kriteria adalah ada tidaknya komunitas orang Indonesia di tempat tersebut.

Makanan

Makanan merupakan kebutuhan primer. Di sini, lebih banyak pilihan untuk makanan halal. Tetapi harus diakui, untuk masalah seafood, sayuran, buah masih lebih banyak varian di Spanyol.

Satu hal yang unik, harga daging ayam di sini lebih murah dibanding di Spanyol. Sementara daging sapi, lebih murah di Spanyol. Lebih unik lagi, harga untuk daging ayam bagian sayap lebih mahal dibanding bagian paha. Kurang cocok bagi saya yang penyuka sayap. Oh iya, sekilo daging ayam bagian paha harganya 2 euro, sekitar 34 ribu rupiah. Bisa lebih murah dibanding di Indonesia, yang kadang bisa sampai 40 ribu.

Oh iya, itu untuk ayam halal ya. Kalau yang ndak halal, saya kurang tahu.

Makan di luar (di warung) memang mahal-mahal. Sekali makan bisa buat beli baju. Saya masih tidak mengerti kenapa beberapa benda dijual tidak sesuai dengan perbandingan seperti di Indonesia.

Toko Asia di sini lumayan memadai. Nemu Indomie lah minimal. Sempat ada beberapa buah tropis seperti rambutan, mangga, atau jambu biji. Tapi ya lumayan harganya.

Kalau mau lebih lengkap, bisa ke Enschede di Belanda.

Transportasi

Sepeda menjadi alat transportasi utama (?) di Muenster. Jalur khusus sepeda, ada banyak. Saya aslinya suka naik sepeda. Tapi kalau lagi adem atau panas banget, saya milih naik bus :v

Bus di sini juga populer. Tapi cukup mahal. Masak sekali naik bus bayar 2 euro lebih. Bisa untuk beli sekilo daging, wkwkwk. Kalau jadi mahasiswa, kita bisa punya tiket semester yang membuat kita bisa naik semua moda transportasi di seluruh NRW (semacam provinsi). Ini luas banget cakupannya. Bahkan sampai ke Enschede di Belanda. Bahkan kalau akhir pekan atau setiap hari setelah jam 7 malam, kita boleh membawa satu orang tambahan, gratis. Tapi cuman di kota Muenster saja. Itupun sudah lumayan sekali buat jalan-jalan akhir pekan sama istri 🙂

Cuaca

Di sini, cukup sering hujan. Kadang lebat banget. Kami tinggal di lantai 11, kadang bisa melihat awan hitam dan geledeknya dengan jelas. Lalu diikuti pelangi yang cantik yang biasanya muncul dua sekaligus.

Pelangi Ganda (maklumi saja kalau ngeblur)

Musim semi masih dingin bagi saya, dan hanya beberapa waktu yang cerah. Tapi pas sekitar summer soltice (akhir Juni), suhu bisa mencapai 30an. Malam pun masih gerah. Perlu minum air putih yang banyak atau bisa juga semangka.

Bahasa Jerman

Alamak, susah sekali bahasa Jerman ini. Lidah pegel kalau usai kelas bahasa Jerman. Bahasa Spanyol menurut saya jauh lebih mudah. Meski saya juga ndak bisa-bisa, wkwkwk.

Orang-orang di sini, aslinya bisa bahasa Inggris, bagus-bagus malahan. Tapi seringkali, default-nya pakai bahasa Jerman, tidak peduli ngobrol sama orang manapun. Kalau kita bilang ndak bisa bahasa Jerman, keluarlah bahasa Inggrisnya. Yah, wajar sih, sebagai pendatang, kita yang harus menyesuaikan.

Kota Muenster Itu Sendiri

Sebuah kota yang menyenangkan menurut saya. Tidak terlalu besar dan ramai. Tetapi fasilitas banyak tersedia. Nyaman menurut saya. Ada danau gede yang bisa dikunjungi sambil santai-santai (meski jarang kesana juga sih). Ada banyak taman di setiap pemukiman. Banyak tumbuhan hijau, dan bunganya bagus-bagus.

Bunga love-love

Ada kelinci liar di pekarangan. Pengen saya sate wkwkwk

Banyak kicau burung juga. Ndak perlu beli melihara burung lah, sudah tersedia, tinggal buka jendela 🙂

Secara umum, kami nyaman tinggal di sini. 🙂

Penutup

Aslinya, masih banyak yang pengen ditulis. 100 hari itu panjang bung. Misalnya tentang puasa ramadan, olahraga, kampus, dan seterusnya. Tapi sudah dulu saja. Lain kali disambung. Kalau sempat. Wkwkwk…

Tetapi, pada akhirnya, semua tergantung hati kita. Mau tinggal dimanapun, pasti ada hal yang kita suka maupun ndak suka. Tinggal bagaimana kita menyesuaikan diri. Yah, pasti ada tempat yang lebih baik dari yang lain. Tapi pada akhirnya, kembali ke diri kita. Yang penting selalu bersyukur. Jangan fokus pada hal-hal yang tidak kita sukai. Nanti jadi lupa pada hal-hal yang kita sukai.

PS: baru sadar, ternyata tidak banyak foto selama 100 hari ini. Jadi, maafkan kalau fotonya seadanya. 😀

1 comments

Tinggalkan komentar