Jarum Suntik dan Rumah Sakit

Saya sudah lama sekali tidak ke rumah sakit, untuk mengobati diri sendiri. Klinik Bumi Medika Ganesha atau klinik di Semesta tidak dihitung ya. Kalau tidak salah, terakhir kali saya ke rumah sakit untuk berobat adalah pas 2004, pas kaki saya ketlindhes roda. Tahun depan saya mau cerita mengenai ketlindhes ini. Biar pas 10 tahun lah.

Jadi, bulan April ini, saya sering banget terkapar. Biasanya sih badan lemes atau perut sakit. Bahkan di rumah sekalipun. Entah kenapa. yang jelas banyak urusan terhambat. Puncaknya, hari Kamis dan Jumat kemarin. Badan saya puanas ra umum, kepala nyut-nyutan juga. Saya minumi Tremenza dan Vitamin C. Paginya reda. Malamnya balik lagi. Akhirnya, daripada tambah parah dan takut kena sakit aneh-aneh, saya putuskan hari Sabtu ke Rumah Sakit.

Kebetulan saya punya asuransi, fasilitas dari yang menggaji saya. Saya sebenernya gak pengen menggunakan asuransi ini. Mending sehat wal afiat selama-lamanya. Ya iyalah ya.

Lalu, saya cari itu daftar rumah sakit yang bekerja sama dengan asuransi saya. Saya pilih yang walk-able dari kostan. Maklum, saya prefer jalan daripada musti naik angkutan. Akhirnya, ketemu lah rumah sakit swasta Trekjung Trekjes. Sebenarnya ada kandidat lain, yang nampaknya lebih dekat dan lebih “negeri”. Tapi, itu Rumah Sakit Bersalin dan Rumah Sakit Ibu dan Anak. Dari namanya saja, saya bukan target pasien mereka. Saya tidak bisa bersalin/melahirkan, saya juga bukan seorang ibu. Eh, tapi saya kan seorang anak ding. *baru kepikiran pas nulis*. Aih, mending kesana kalau gitu. Eh gak mau ding, saya gak mau sakit lagi.

Singkat cerita, Sabtu siang saya ke rumah sakit tersebut. Pas ke teller atau resepsionis-nya, saya dikasih tahu, kalau biaya berjumpa dengan dokter umum itu 150rb. Dan, asuransi saya, ternyata (saya baru tahu, atau dulu tahu sekarang baru ingat) cuman meng-cover 50rb untuk biaya bertatap muka dengan dokter ini. Dalam hati, “kok larang (mahal) ya?”. Saya mencoba bertanya ke teman-teman yang lebih gaul mengenai beginian. Tapi, terlalu lama balasnya. Jadi, setelah merenung, menghitung peluang bakal opname (soalnya, kamar paling murah 450rb, jatah saya cuma 350), menghitung peluang obat melebihi batas aman, serta menghitung efek yang timbul, dan seterusnya, saya putuskan untuk “ya wis lah ya, sekali-kali ini, ntar kalau disuruh opname, pura-pura sembuh saja“. Akhirnya, daftarlah saya.

Tak lama menunggu, saya dipanggil untuk berjumpa dengan dokter. Seorang perempuan, masih muda keliatannya. Saya ditanyai, keluhannya apa, sejak kapan, sudah minum apa dan lainnya. Lupa saya. Terus disuruh berbaring, gara-gara saya bingung perutnya yang sakit sebelah mana. *jadi curiga sensor tubuh saya rada bermasalah*. Disuruh berbaring, terus dicek perutnya. Lalu dokternya menyuruh asistennya untuk ngecek suhu, Katanya 36.8, dan dibilang panas. Lah, bukannya normal itu 36-37? Protes dong saya. Tapi, bagai dianggap angin lalu saja. Kemudian dicek tekanan darah, dapat skor 100/70. Katanya juga normal. Beuh, setahu saya normal itu 120/80. Iki piye tho, kok beda dari pelajaran biologi SMP dulu. Tapi ya, mau gimana lagi.

Katanya sih mungkin diare atau tipes. Terus, dibilangin, perlu diambil darahnya untuk dicek. Makjan. Ini yang saya benci. Entah kenapa, sejak akhir 2008, saya takut disuntik. Kita flashback dulu.

Jadi, saya baru mengikuti OSNPTI 2008 di UI, yang ada acara jalan-jalannya ke Dufan. Saya naik tuh halilintar. Gak takut sih. Kayaknya ndak ada yang nakutin di Dufan (kemaki). Nah, pas naik, ada gerakan yang tidak masuk ke memori saya. Kaget dong saya. KLEK. Wah, ada yang ndak beres dengan leher saya. Eh, beneran. Gak bisa noleh. Bahkan, paginya tambah parah. Pas solat idul adha juga masih. Kacau.

Lalu, pas saya mudik (saya lupa alasan saya mudik apa, ahaha), saya diantar ke dokter (bukan RS). Dokter tulang kalau ndak salah ingat. Eh, ditawarin, mau disuntik atau minum obat. Disuntiknya di bagian, maaf, pantat. Makjan. Ini kenapa langsung timbul pikiran aneh-aneh. Misal:

  1. Saya ndak sengaja gerak, lalu jarum suntiknya patah, lalu ketanam di daging saya. Argh. Bayangin saja sudah ngeri.
  2. Saya tiba-tiba gerak gara-gara terkejut, lalu si jarum suntik makin nancep. Terus kena tulang yang putih. Aih.
  3. Pas kelar menyuntik, jarum dicabut. Eh, ada yang nempel. Pasti cuman bisa ketawa getir.

Mungkin, imajinasi saya terlalu liar. Tapi, ini ngaruh banget. Saya milih minum obat saja.

Nah, itu lah asal muasal saya takut disuntik.

Balik lagi ke rumah sakit Trekjung Trekjes. Saya dipanggil perawat yang bertugas ngambil darah saya. OHA OHA. Saya mengajak perawatnya diskusi. Apakaha tidak ada cara lain untuk mengambil darah? Saya kepikian gimana kalau saya main bola saja, sampai jatuh, lalu berdarah. Nah, silahkan ambil. Mbaknya bilang tidak. Sudah kepikiran minta ditonjok saja. Tapi, kok mbaknya ngotot. Kepaksa saya ngalah.

Dikasih tahu cuman serasa digigit semut saja, saya sudah tidak percaya. Sudah kebayang hal-hal mengerikan seperti di atas. Saya juga sempet nanya, berapa banyak darah yang diambil? Katanya 5 ml. Men… itu ukuran satu sendok teh. Kok banyak. Aih.

Ya sudah, saya mengalah. Saya tarik nafas panjang, sembari berharap tidak ada refleks bodoh dari saya yang memungkinkan khayalan-khayalan liar saya tidak menjadi kenyataan. Dan cuusss. Si jarum masuk, saya cuman bisa tarik nafas, buang nafas, tarik lagi. Mendadak kepikiran, kok lama banget sih. Itu kalau patah gimana jarumnya.

Untunglah, semua baik-baik saja. Lega rasanya. Masih sempet juga disindir mbak-mbak pengambil darah, masak cowok  takut sama jarum suntik. Ah sudahlah.

Lalu saya menunggu resep dan bayar. Untunglah, obat ndak nembus batas aman, jadi “cuman” bayar 100rb. Sebenarnya ada satu multivitamin sih, tapi saya bilang mau beli sendiri saja. Dan, sampai sekarang tidak kunjung terbeli.

Hasil darah keluar dua jam. Saya memilih pulang. Mules.

Dua jam lebih banyak kemudian, saya ditelpon. Hasilnya negatif. Yes. Gak tipes. Katanya sih cuman leukositnya yang turun. Katanya gara-gara makan sembarangan di pinggir jalan. Dan, ketika ditelpon, saya sedang makan singkong goreng di pinggir jalan. Langsung, saya habiskan. Curiga, siapa tahu mbaknya menelpon dari jembatan penyebrangan dan melihat saya.

Obat diminum satu, yang buat pusing. Ahey, sudah jauh mendingan. Entah gara-gara apa. Beberapa penyebabnya mungkin adalah takut melihat biaya untuk sehat atau karena teriak-teriak pas mau diambil darah hingga keringetan.

Yah, semoga ndak perlu makai asuransi itu lagi. Saya mending 100rb dipakai buat beli Burger King dan tetap sehat daripada dipakai buat bayar dokter dan sakit. Meski dokternya perempuan sekalipun. *pret.

Salam Semoga Sehat Selalu, Sunni (S5)

Update:
Saya baru inget, dikasih pantangan makan yang rada aneh. Ndak boleh sayur, ndak boleh nasi, ndak boleh pedes-pedes, ndak boleh asam-asam, dan ndak boleh sembarangan. Kecuali yang ndak boleh makan sayur, saya paham. Lha sayur kan termasuk geng 4 sehat 5 sempurna. Ckckck.

15 comments

  1. Wkwkwkk … entah harus ketawa atau simpati baca ceritamu. 😀

    Btw, soal jarum suntik setahuku nggak mungkin sampai patah deh, paling cuma bengkok aja. CMIIW.

    • maksudku, kan itu jarum bisa lepas dari bagian plastiknya itu lho dhit. Malah lebih serem, kalau lepas dari bagian plastik, terus bengkok di daging. Ndak kuat bayanginnya

  2. 100/70 itu masih normal kok tapi untuk laki-laki biasanya lebih dari itu, 120/80 kalo kata buku waktu sekolah tapi normal sih 100/70. kalo orang yg punya tekanan darah yg emang rendah ya segitu 100/70 atau mungkin 90/70, tergantung sih.

  3. ahaha, lucu ya baca yang begini dari sudut pandang pasien xDDD biasane nek meh nyuntik ki aku takute ngga sekali jadi, lha iki pasiene malah wedi jarume patah ki lho… xDDD aku rung tau sih ngalami jarum patah pas disuntikke. nek bengkok, pernah. tapi itu pun nyuntiknya ke karet infus atau pas jarumnya udah diambil (udah selesai nyuntik). jadi ya… take it easy, it’s not that risky. aku juga ga suka disuntik (walau lebih karena aku benci darah instead of takut jarum), tapi semakin kamu takut disuntik, terutama buat ngambil darah, biasanya malah bakal bikin tambah lama, karena tubuh merespon rasa takut itu dengan nyempitin pembuluh darah, jadi darahmu tambah lama keluarnya xDDD

    anyway, 100/70 masih normal kok, asalkan kamu biasanya emang segitu atau kalo biasanya 120/80, as long as dalam tekanan segitu kamu ngga merasa lemes atau nggliyer atau sakit kepala.

    semoga sehat terus ya Gan :Db

    • Nah, kalau gini kan lebih jelas, kalau dapat pencerahan dari yang berpengalaman. Lebih mudah masuk ke otak. Fiuh. Kalau udah tahu behind the scene nya gini kan lebih tenang jadinya. Sudah diitung dengan seksama, dan dianggap aman bagi semuanya.

      Tapi, tetep, mending ra usah disuntik. Ahahaha.

      Thanks to sito *jenengmu susah dinggo celukan sih

  4. oiya, satu lagi (baru baca komenmu di atas xDDD). jarum suntik ga segampang itu lepas dari tabungnya. harus diputer dulu baru lepas. jadi lebih mungkin jarum itu ketarik keluar sekalian dari bagian yang disuntikin (yang…sebenernya agak susah terjadi juga, secara jarumnya kan panjang dan masuknya dalem) daripada copot dari tabungnya doang… xDDD

  5. Sampai sekarang kalau dengar dokter atau siapapun bilang disuntik itu cuma seperti di gigit semut, rasanya pengen aku tampol mulut itu orang. wkwkwk

    Seumur hidup baru 2x disuntik, pertama waktu SD disuntik di tangan, kedua waktu SMP disunat, rasanya ampun mantap.

    Nah sekarang sudah dewasa ada rencana mau sunat reparasi, masih mengumpulkan mental nih. Katanya sih kalau dewasa jauh lebih sakit, soalnya disuntiknya beberapa kali.

    Ngomongin tekanan darah, kalau beda 10 ngga apa2, waktu medical check up dapat 130/80, kata dokternya wajar bisa jadi karena kurang tidur atau stress. Memang betul waktu itu lagi stress dan kesel, karena antri 2jam.

Tinggalkan komentar