Mengenang Jumatan

Catatan editor: ini postingan aslinya sudah 2 bulan yang lalu, tapi mangkrak. Ya wis, kita terbitkan saja :). Selamat membaca.

Sudah lebih dari 2 bulan sejak terakhir saya melaksanakan Solat Jumat alias Jumatan. Di tempat saya, Jumatan sudah tidak diadakan lagi sejak 13 Maret 2020 dikarenakan sedang terjadi wabah covid-19 atau corona.

Sedikit tidak ada hubungannya dengan intro di atas, saya jadi teringat Jumatan-Jumatan yang pernah saya alami yang cukup unik sehingga saya masih ingat. Berikut diantaranya (saya urutkan berdasarkan waktu):

2006 – Jumatan dengan tongkat di dekat LPMP Jawa Tengah

Ini termasuk culture shock. Terjadi ketika saya SMA, dan sedang ikut sebuah pelatihan yang menyenangkan di LPMP Jawa Tengah (Srondol, Semarang). Nah, saya sempat Jumatan di dekat LPMP. Kalau lihat di Google Map, kayaknya di Masjid Taqdimah.

Nah, waktu itu, ketika khatib mau naik ke mimbar, ada sesi serah terima tongkat gede gitu. Beuh, saya jadi khawatir. Jangan-jangan ini aliran sesat. Mana adzannya dua kali pula. Ini juga baru pertama kali dengar. Pikiran saya sudah kemana-mana. Ternyata oh ternyata, itu memang jamak dilakukan di masjid-masjid lain seiring bertambahnya jam terbang masjid saya.

Hikmahnya, jangan buru-buru menghakimi 🙂

2008 – Jumatan dengan TV di Masjid Salman ITB

Sebelum saya masuk kuliah, saya kayaknya selalu Jumatan di tempat yang cukup lapang dan biasanya cuman 1 bangunan saja. Tapi, ternyata, ada masjid-masjid yang sangat penuh sehingga shaf berada di lokasi yang lumayan jauh hingga beda bangunan dengan lokasi khatib (bukan beda lantai lagi). Misalnya untuk kasus Masjid Salman ITB, ada jamaah yang solat di lantai dua gedung YPM Salman (?) yang masih satu bagian dengan kantin Salman. Nah, di ruangan ini, ada TV yang menyiarkan secara langsung khutbah jumatnya.

Ternyata, hal ini tidak langka-langka amat. Kayaknya pernah nemu masjid-masjid lain yang melakukan hal serupa. Oh ya, Masjid Salman ini sangat adem dan sejuk. Lantainya dari kayu. Enak banget buat tiduran.

2014 – Jumatan minimalis dan pengalaman jadi khatib di Korea Selatan

Nah yang ini pas saya tinggal di Gwangju, Korea Selatan. Pas hari Jumat, ada dua opsi bagi kami mahasiswa di CNU (Chonnam National University) untuk Jumatan. Yang pertama, bisa di sebuah masjid yang kalau ndak salah 2x naik bus dari kampus. Lokasinya ada di peta berikut ini. Google Map di Korea Selatan memang kurang lengkap. Jadi saya tunjukan ke toko halal yang lokasinya di bawah masjid ini.

Pilihan lain adalah solat di kampus. Jadi ada ruangan, yang bisa dipakai untuk Jumatan. Kecil ruangannya. Kalau Jumatan, biasanya ada yang sampai di luar ruangan. Oh ya, saya jadi khatib di sini. Wkwkwk. Khutbahnya pakai Bahasa Inggris. Tentu saja, saya baca teks :D. Ini saya cuman sekali saja sih. Giliran soalnya 😀

Setelah itu, belum pernah lagi ada kesempatan jadi khatib :v

2016 – Jumatan di Afrika Selatan

Ini kali pertama saya pergi jauh (beda negara) dalam waktu singkat dan tetap Jumatan. Jadi saya lagi ada keperluan di Afrika Selatan, main ke kantor pak bos yang lama. Di hari Jumat yang pertama, saya tidak Jumatan. Soalnya malah diajak mudik (atau pulang kampung?) sama pak bos. Di Hari Jumat yang ke dua, saya malah Jumatan. Aslinya, tidak kepikiran bisa Jumatan. Masjid aja mana tahu dimana. Dan sepemahaman saya, di Afrika Selatan, muslimnya sedikit.

Eh, malah pak bos saya ngasih tahu kalau mau Jumatan ada masjid. Mau diantar sekalian jajan. Lokasinya rada jauh sih soalnya. Akhirnya, saya berhasil Jumatan. Baru sekarang nyari di Google map, nama masjidnya Stellenbosch Mosque: Goejjatul Islam.

Oh ya, ini foto after Jumatannya

Setelah Jumatan, pada beli KFC. Kebetulan saya puasa Ramadan, jadi tidak sempat ngicipin. Tapi entah halal atau tidak juga sih. Oh iya, ternyata di Afrika Selatan cukup banyak produk halal. Ada logo halal MUI Afrika Selatan juga. Bahkan, di negara-negara sekitar, seperti Malawi, logo halal ini masih bisa ditemukan!

2018 – Datang Jumatan terlalu awal

Ini kejadian di Castellon, Spanyol. Jadi waktu itu kepasan dengan DST alias Daylight Saving Time. Si DST ini kurang lebih memundurkan jarum jam selama 1 jam. Untuk lebih jelasnya, bisa dibaca di artikel Wikipedia ini. Berhubung waktu solat itu berdasarkan posisi matahari, maka biasanya di jadwal solat terjadi loncatan 1 jam ketika DST ini mulai diberlakukan (sekitar akhir Maret) dan berakhir (sekitar akhir Oktober). Misalnya, di bulan Oktober, yang tadinya azan Dhuhur jam 2 siang jadi jam 1 siang.

Balik lagi ke cerita, jadi saya pikir Jumatan di sini juga ikutan maju satu jam. Biasanya mulai khutbah itu jam 2 siang. Oh, ini udah selesai DSTnya, azan maju 1 jam, khutbah juga dong. Kan kalau tetep jam 2 siang, bisa mepet Ashar nanti. Berangkat lah saya.

Eh, ternyata, si Jumatan tetep mulai jam 2 siang. Ya sudahlah, terpaksa nunggu 1 jam di masjid. Ya ndak apa-apa sih ya. Saya menduga, ini disesuaikan dengan jam istirahat orang-orang di Spanyol. Kalau jam 1 siang mungkin belum bunyi bel makan siangnya.

Masjid yang di Castellon ini bernama An Nur. Full bahasa Arab pokoknya. Yah, saya cukup menerka-nerka saja, mana khutbah bagian doa mana bagian isinya. Di atas tadi bisa dilihat petanya. Deket dengan toko halal juga.

Oh iya, kasus DST ini beda dengan di Muenster, Jerman. Di Muenster, waktu Jumatannya disesuaikan dengan DST-nya.

2018 – Ketemu mas Idham pas Jumatan di Sevilla (Masjidnya FrĂ©dĂ©ric KanoutĂ©)

Siapa mas Idham ini? Wkwkwk, tiba-tiba muncul.

Jadi, beliau ini adalah salah satu orang yang saya hubungi ketika mau pindah ke Castellon, Spanyol. Dulu mas Idham juga pernah tinggal di sana. Sekarang sih sudah di Madrid.

Alkisah, saya dan istri sedang main ke Sevilla dan kebetulan pas itu hari Jumat. Saya menyempatkan solat Jumat sekalian istri juga ikutan. Berikut lokasi masjid di Sevilla ini. Cukup dekat dengan pusat kota.

Masjid ini sedang dalam proses penggalangan dana, selengkapnya bisa dilihat di sini. Pemain sepakbola Frederick Kanoute juga ikut menyumbang dalam pembangunan masjid ini lho. Monggo kalau mau ikut menyumbang.

Kembali ke benang merah, saya pun Jumatan. Kan pas denger khutbah masih duduk agak renggang tuh, lalu pas mau solat mulai merapatkan shaf. Yang di belakang maju ke depan. Eh ternyata, salah satu peserta Jumatan yang maju ke samping saya mas Idham ini. Habis salam, barulah kami ngobrol-ngobrol. Kalau ndak salah beliau sedang mengantarkan dosen (?) dari UIN/UMY (?) untuk studi atau membantu pembangunan masjid Sevilla ini.

Oh ya, presiden Seville Mosque Foundation ini adalah mantan model terkenal lho, namanya Ibrahim Hernandez.

2019 – Khutbah Jumat dengan terjemahan

Beberapa kali mengikuti Jumatan yang khutbahnya bukan menggunakan bahasa yang saya mengerti, jadi sudah terbiasa. Tapi baru kali ini saya menemukan khutbah Jumat yang dilakukan dengan Bahasa Turki, lalu ada sesi sebelum iqomah yang menterjemahkan ke Bahasa Jerman. Tentu saja, saya tidak paham dua-duanya.

Ini terjadi di Masjid Pusat Muenster alias Muenster Central Mosque alias DITIB MĂŒnster Zentralmoschee alias Masjid Turki.

Segitu sajalah. Ada beberapa lagi sih. Seperti dikasih makan siang soto setelah Jumatan di Masjid At Taqwa Minomartani, masjid yang adem plus enak food court-nya di BPPT Jakarta, masjid di dekat Bank Commonwealth Tanah Abang setelah berhasil ngurus rekening koran, dikasih kurma sebungkus di Masjid Arab di Muenster, Jumatan di Masjid MAN 2 Malang yang sampai nutup jalan, atau Jumatan di Masjid Nurul Ikhlas, Bandung yang banyak banget Sandal Swallow-nya. Yah banyak lah pokoknya. Para pembaca (kalau ada yang baca) mungkin juga punya pengalaman tersendiri.

Kabar terakhir (berhubung ini nulisnya 3 hari), ada masjid di NRW (negara bagian di Jerman) yang sudah mengadakan Jumatan. Tapi kapasitas terbatas. Dan perlu registrasi dulu 🙂

Yah semoga pandemi ini lekas usai, dan kita bisa Jumatan lagi.

Tinggalkan komentar