100++ Hari Pertama di Muenchen, Jerman

Intro

Melanjutkan tradisi, saya mau cerita tentang kisah 100++ hari pertama saya di tempat baru. Kali ini di Muenchen, Jerman. Episode sebelumnya, bisa dibaca di sini (Muenster, Jerman). Agak berbeda, kali ini judulnya 100++ alias lebih dari 100 hari. Maklum, pindahan kali ini cukup berbeda, bareng sama pandemi.

Pindahan kami pun sempat maju mundur. Rencana awal, akhir Maret karena saya mulai kerja di bulan April. Namun suasana tidak menentu. Kantor pun menganjurkan untuk work from home dulu. Padahal, kontrakan di Muenster sudah kami putus. Alhamdulillah, bisa diperpanjang 2x 1 bulan. Dan, pada akhirnya, kami pindahan di akhir bulan Mei 2020. Mungkin itulah waktu yang terbaik. Ndak kebayang kalau pindahan pas puasa :).

Administrasi

Adminstrasi kali ini sungguh dimudahkan. Saya masih sempat mengajukan blue card sebagai ijin kerja saya sebelum ausländerbehörde di Muenster tutup gara-gara Corona. Dan sebelum saya mulai kerja, sudah disetujui. Dengan kartu biru ini, saya boleh tinggal di Jerman untuk kerja. Dan istri bisa ikut tinggal tanpa harus memiliki sertifikat bahasa Jerman A1 atau harus pulang ke Indonesia dulu untuk mengajukan visa kumpul keluarga dari Kedubes Jerman di Indonesia. Urusan ijin tinggal ini memang sungguh membuat deg-degan. Beberapa kemudahan yang saya ingat:

  1. Saya bisa mengajukan di Muenster, yang lebih mudah untuk memperoleh slot waktu dibanding di Muenchen
  2. Sempat kurang persyaratan, yakni bukti saya lulus S2. Soalnya nilai belum keluar. Alhamdulillah, nilai bisa muncul 2 hari sebelum janji ketemu di AbH. Pembimbing tesis dan admin kampus, memang jos.
  3. Dimudahkan ngurus asuransi. Kami pakai TK atas dasar sering dengar.
  4. Ada masalah pengiriman blue card. Untung saja, kami bisa memperpanjang sewa kami di Muenster, sehingga masih sempat menerima si blue card ini

Administrasi di Muenchen juga sedikit terhambat. Selain slot temu masih ditutup, email juga tak kunjung dibalas. Namun, pada akhirnya, selesai juga urusan administrasi (lapor diri, ganti alamat). Ndak kebayang kalau dulu mengajukan blue card di Muenchen. Bahkan kami juga sukses lapor diri ke KJRI 😀 Padahal sudah kelayapan selama hampir 2 tahun :D. Terima kasih warung konsuler KJRI Frankfurt.

Tempat Tinggal

Hal ini hal paling sulit lain yang harus dihadapi. Di satu sisi kontrakan di Muenster sudah mau putus, sementara nyari tempat tinggal di Muenchen jauh lebih susah. Dan lebih mahal. Tertolong karena land lord di Muenster memperbolehkan untuk perpanjang selama 2x 1 bulan. Sementara di Muenchen, kami pakai Mr. Lodge. Bukan yang ideal atau optimal memang. Tapi melihat kondisi, tempat tinggal (sementara) kami sekarang sungguh patut disyukuri. Lokasi di tengah kota sehingga akses ke apa-apa sangat mudah. Cuman agak jauh dari warung penyet saja sih. Mungkin seperti daerah Jakal yang dekat UGM, karena di sini juga dekat kampus TUM. Disyukuri saja lah pokoknya. 😀

Di depan warung olahraga klub juara 2 Liga Champions 2009/2010

Orang Indonesia

Orang Indonesia di Muenchen jelas lebih banyak daripada di Muenster. Apalagi dibandingkan di Castellon, Spanyol (hallo mbak Dewi dan Matilde!). Tentu ada plus minusnya. Plusnya misalnya, ada banyak kegiatan (entah ada berapa banyak pengajian tiap bulannya), atau ada futsal bareng anak-anak muda yang sedang kuliah :). Minusnya, perlu effort lebih untuk menghafalkan nama dan mungkin kurang seakrab di Muenster atau Castellon (?). Wajar lah ya.

Oh iya, di sini juga ada masjid Indonesia, namanya PM3. Silakan dikunjungi kalau sedang di Muenchen.

Makanan

Dibandingkan di Muenster, di sini jauh lebih banyak pilihan makanan halal. Restauran halal berjejer-jejer. Mulai dari timur tengah, Turki, Afghanistan, burger halal, hingga restoran Uyghur (belum pernah nyobain sih). Ada juga kalau ndak salah restoran Malaysia. Beberapa yang sudah kami coba cukup memuaskan.

Untuk daging halal, juga banyak sekali pilihan. Bahkan supermarket Turki (Verdi) juga ada. Ada juga bebek halal. Enak sih, tapi capek juga ngolahnya. Harga dibanding di Muenster beda sekitar 1-2 euro lebih mahal.

Toko Asia ada dua yang gede (Asia Go dan Orient). Bahkan ada juga toko Indonesia (Bali Asia) yang menyediakan benda-benda langka seperti mie sedap asli, sambel belibis, sambel terasi, kemiri, dan lain sebagainya. Nampaknya, lebih dari cukup untuk keperluan masak memasak.

Oh iya, di sekitar rumah ada Netto, DM, Rewe, LIDL, Edeka, Penny, dan Rosman. Jadi, cukup mudah untuk belanja sehari-hari. Toko roti juga banyak. Tapi yang paling favorit hingga saat ini adalah vanilla croissant di Discount Backshop.

Yang masih belum nemu adalah Tarte de Nata, yang biasa saya beli di stasiun Muenster. Sampai hafal yang jual. Kalau beli cuman 1-2 biji 😀

Transportasi

Meski tidak semasif di Muenster, sepeda cukup menjadi alat transportasi favorit di Muenchen. Saya sendiri pun akhirnya punya. Lumayan, buat ke toko roti atau sepedaan ketika cuaca cerah. Tapi untuk perjalanan agak jauh, misalnya ke kantor, saya agak malas. Saking gedenya, Muenchen memiliki Bus, Tram, U-Bahn (kereta bawah tanah/metro), dan S-Bahn (kereta cepat). Kalau belum terbiasa, pasti bingung. Apalagi kalau ada perubahan rute gara-gara perbaikan. Saya pernah menghabiskan waktu 1.5 jam dikarenakan tidak tahu kalau ada jalur yang tidak berfungsi (ditambah salah arah naik U-bahn sih).

Untuk tarif, juga lumayan mahal. Ada zona M, 1, 2, hingga 6. Biasanya sih kami cuman pergi ke zona M saja. Sekali jalan, paling murah dengan tiket strip, seharga 2.8 euro. Kalau tiket sehari sekitar 7.8 euro. Jadi, kalau berencana naik 3 kali perjalanan, mending beli yang sehari sekalian. Tiket bulanan harganya sekitar 52 euro. Agak njlimet itungannya dan kurang fleksibel. Kalau sekalian rutin tiap hari pergi, sudah pasti beli tiket bulanan. Tapi kalau pergi cuman buat Jumatan dan ngantor seminggu sekali, agak nanggung.

Cuaca

Kami pindahan di tengah musim semi. Udaranya tidak sekering di Muenster. Tapi, baru bulan Oktober awal, sudah dingin dan sering hujan juga. Pas musim panas kemarin sempat panas banget, tapi alhamdulillah tidak sampai sepanas tahun lalu.

Yang agak kurang, mungkin posisi kontrakan yang tidak menghadap timur. Sehingga, kalau pagi, cahaya matahari kurang bisa masuk ke dalam ruangan. Paling pol cuman lewat jendela kecil di kamar mandi. Namun, kalau siang atau sore, lumayan dapat cahaya matahari, soalnya jendela yang menghadap barat, cukup jembar. Walau di Jerman, saya masih memakai arah mata angin dengan cukup luwes :v

Di musim dingin, konon lebih dingin daripada di Muenster. Lebih mungkin turun salju juga. Yah, kita lihat seperti apa dinginnnya.

Bahasa Jerman

Meski tahun lalu sempat ambil kursus Bahasa Jerman untuk level A1, jujur saya masih merasa tidak bisa. Paling pol ucapan-ucapan lepas seperti bitte, guten morgen, zutaten, rind, hanchen, dan teman-temannya. Kalau udah diajak ngomong panjang lebar atau baca surat, pusing. Kadang kala surat-surat yang kami terima sering numpuk. Nunggu ada waktu untuk membaca (dengan Google Translate). Meski begitu, saya masih pengen bisa bahasa jerman ini.

Kota Muenchen Itu Sendiri

Muenchen kota yang besar. Kalau dari Wikipedia, jumlah penduduknya sekitar 1.4 juta. Bandingkan dengan Muenster yang “hanya” 300 ribu. Kurang pas kalau dibandingkan dengan Jogja atau Jakarta, lha batasannya kurang jelas. Tapi yang pasti Jakarta jauh lebih padat dan lebih luas. Bandung juga sih, penduduknya sekitar 3 juta jiwa. Sekalian gugling, ternyata Gwangju besar juga, tembus 1.5 juta jiwa.

Karena kota besar, penduduknya lebih beragam. Bahkan sampai ada area yang penuh makanan dan toko halal (di sebelah selatan stasiun). Toko-toko juga jauh lebih banyak. Misalnya di Muenster hanya ada 1 Tedi (toko barang-barang terjangkau), di Muenchen ada 4 lokasi. Bahkan IKEA saja ada, dan masih masuk zona M.

Enaknya, kita jadi punya banyak opsi. Tidak enaknya, lokasi-lokasinya tersebar. Kalau di Muenster, turun stasiun, semua sudah dalam jarak langkah kaki. Sementara di sini bisa peyot kakinya.

Di Muenchen juga lebih banyak ruang terbuka. Belum sempet mengunjungi semua sih, tapi misalnya ada Olympiapark yang punya danau gede atau English Garten yang ada tempat surfing di sungai. Cocok buat jalan-jalan atau piknik. Dan gratis tentu saja. Tempat seperti ini yang menurut saya kurang bisa ditemukan di Indonesia. Tempat dimana kita bisa kunjungi di akhir pekan, sambil bawa bekal, terus duduk-duduk santai.

Di sini saya juga baru tahu kalau ada area-area untuk main bola yang juga untuk umum. Bagus-bagus pula. Ada yang menggunakan rumput sintesis seperti di lapangan futsal.

Yah, nanti kalau udara mulai menghangat, bisa dipikniki lagi.

Tempat wisata juga ada banyak pilihan, mulai dari Marientplatz si alun-alun atau istana Nymphenburg yang luas banget. Ada kolam plus bebek dan angsa. Oh iya, saya baru sadar, kolam atau danau di sini banyak sekali ikan-ikannya. Gede-gede pula. Rasanya pengen ditangkap terus dibakar. Hahaha.

Oh iya, di sini juga ada klub juara 2 Liga Champions tahun 2010, Bayern Muenchen. Belum sempat ke stadionnya tapi. Semoga pasca pandemi, bisa nonton.

Penutup

Seperti biasa, ada banyak hal lain yang pengen ditulis, tapi nanti kepanjangan wkwkwk. Mau dimanapun, pasti ada positif negatifnya. Tinggal bagaimana kitanya saja. Halah. Tidak ada tempat yang sempurna tentu saja.

Tinggalkan komentar