Culture Shock

Singkat cerita, saya sedang melanjutkan studi di Gwangju, Korea Selatan. Seperti orang yang baru masuk ke lingkungan baru, budaya baru, dan tempat baru, saya kaget akan beberapa hal. Yah, bisa dibilang saya mengalami culture shock. Berikut kekagetan saya.

  1. Makanan.
    Ya Allah, di sini daging babi bertebaran dimana-mana. Saya selaku muslim, agak gimanaaa gitu kalau ketemu si babi ini. Konon, kata senior, 95% makanan di sini mengandung babi Hafffuuu.
    Saya selalu curiga kalau ada penjual makanan di pinggir jalan. Apalagi kalau tercium baunya. Kayaknya ayam, tapi kok ada yang beda dari baunya. Paranoid mungkin. Katanya juga, daging babi lebih murah dari daging sapi dan ayam.
    Konon (lagi), Gwangju, kota tempat saya tinggal ini memiliki makanan terenak di Korea Selatan. Terutama Kimchi-nya. Tapi sayang seribu sayang, lidah dan perut saya yang ndeso ini tidak cukup kooperatif. Makanan yang sudah saya coba rata-rata asam/kecut. Boleh dibilang saya kurang nafsu kalau melihat makanan Korea di sini. Kayaknya, puasa di sini lebih mudah karena tidak ada sate, soto, bakso, atau makanan surga lainnya.
    Saya sempat diajak ke tempat makan yang katanya halal. Di sini, kalau kita pesan makanan, biasanya ada makanan ekstra atau biasa disebut banchan. Di bawah ini contoh makanan yang kami pesan. Di piring-piring kecil itulah si banchan.
    Makanan KoreaItu yang mirip sambal kentang di piring kecil adalah jebakan batman bagi saya. Ekspektasi kentang dan pedes. Ternyata labu dan kecut. Yah, begitulah. Aneh rasanya.
    Tapi yang di panci itu, enak. Daging sih.
  2. Memasak
    Alternatif untuk mengatasi isu di poin pertama adalah memasak. Namun, sayang seribu sayang, skill memasak saya cuman selevel merendam mie instan. Masak nasi saja ditentukan nasib, apakah airnya kebanyakan atau tidak, pakai rice cooker pula. Saya baru memasak mie instan, goreng telur, nasi goreng, gulai ayam, dan rawon ayam (menggunakan bumbu instan). Hasilnya, edible.

    Gulai Ayam Edible
    Gulai Ayam Edible

    Saya memasak di dapur asrama yang memiliki beberapa kompor listrik yang ketika menggunakan harus memasukan koin 100 won.

  3. Mandi
    WOH. Ini yang menurut saya cukup ngeselin. Saya tinggal di asrama kampus. Kamar mandi yang tersedia berupa sekumpulan shower yang dibatasi oleh pembatas kaca semi transparan, yang tidak cukup panjang. Noleh dikit, bisa keliatan shower sebelah lah. Ditutup tirai yang rawan terbuka dan tidak mepet si pembatas kaca tadi. Jadi, pada intinya, rawan terbuka. Selalu merasa insecure kalau pas mandi.
    Mungkin hal itu bisa diatasi dengan mandi ketika sepi. Tapi, namanya juga nasib manusia. Tidak tau ada yang mandi atau tidak ketika masuk ruangan tersebut. Kalau lagi sial, Anda bisa menjumpai seseorang sedang mengelap badan dengan handuknya. Dengan santainya. Di depan pintu masuk menuju kamar mandi. Dan dalam kondisi no string attached, kalau boleh mengambil judul film.

    Kamar mandi
    Kamar mandi

    “Sudah berapa kali bernasib sial Sun?”.
    Seminggu pertama, saya sudahdua kali kena sial, dalam satu hari pula. Langsung facepalm, balik kanan, dan pergi ke kamar, tidur. Mata saya ternoda.

  4. Toilet
    Pada intinya, saya masih gak nyaman kalau musti bersuci menggunakan tisu. Meski ini bukan hal pertama yang saya temui. Padahal air melimpah, kenapa tidak ada keran air di dalam toilet. -________-.
  5. Masjid dan Adzan
    Mungkin, saya ndak pernah bersyukur tinggal 23 tahun di negara yang mudah sekali mendengar adzan dan terdapat masjid. Di sini, susyah. Masjid terdekat butuh dua kali naik bus. Dan pastinya, adzan dari masjid tidak pernah terdengar di asrama.
  6. Cuaca
    Sekarang masih fall, yah suhunya kayak Bandung tempo dulu lah. Tapi saya sudah sering kemulan di lab. Entah kayak apa nanti pas winter.
  7. Mahal
    Operasi aritmatika yang sering saya lakukan adalah perkalian dengan 10. Sesuai dengan kurs won ke rupiah. Barang-barang di sini mahal, kalau dirupiahkan. Mana beasiswa cekak. Yah sudahlah
  8. Sepi
    Saya ndak pernah mengira kampus dan asrama itu bisa sepi. Hampir semua kampus yang saya kunjungi di Indonesia, sangat ramai, kecuali liburan. Lha ini, ngek, sepi. Asrama pun 11-12. Tidak serame asrama Bumi Ganesha atau Semesta. Jauh lah. Atau mungkin saya yang ansos?.
    Sepakbola ? Saya masih mencari teman main. Sayang orang Indonesianya sedikit dan lebih sedikit lagi yang suka dan mau main bola. Sudah lebih dari 2 bulan tidak main bola, hiks.
  9. Bahasa Korea
    Preketek. Saya sama sekali tidak bisa.
    Pernah suatu ketika, saya bangun tidur dan merasa lapar sekali. Hendak membeli telur dan buah-buahan. Saya masuk ke toko, pilih barang, ke kasir, liat harga di monitor, kasih duit, dan terima kembalian. Tak lupa membalasa ucapan gamsahamnida. Cuman kata itu yang terucap selama proses. Hidup bahasa isyarat.
    Di lain waktu, saya sedang mencetak pas foto. Sembari menunggu, ada bapak-bapak yang mengajak ngobrol. Anehnya, bapaknya tidak mengucapkan apa-apa. Lalu mulai berbicaralah kami dengan bahasa isyarat. Namun gagal. Beliau lalu menuliskan suatu kata di aksara Hangeul (aksara Korea). Beliau menunjuk tulisan itu lalu menunjuk ke saya. Saya tidak bisa membacanya, jadi ya bingung dong. Lalu saya nulis pakai aksara latin, “Chonnam”. Lalu saya nunjuk tulisan itu dan ke saya. Niatnya sih, “Chonnam, saya kuliah di situ”. Tak disangka, si tulisan Hangeul tadi itu berarti Chonnam. Saya cuman bisa pasang senyum getir.
  10. Lajur Kanan
    Kalau di Indonesia, kita mengendari mobil di lajur sebelah kiri. Namun, di sini kita mengendarai mobil di sebelah kanan. Tidak ada yang aneh memang. Tapi, pernah suatu ketika, kami akan naik taksi. Saya masuk dari pintu belakang sebelah kiri. Belum sempurna saya masuk taksinya, eh sudah jalan. Peh. Ternyata, memang tidak boleh masuk dari situ, kata pak sopir. Sempat “dimarahi” juga. Untung belum ngerti bahasa Korea, jadi ya santai-santai saja. Ahaha.

Yah segitu dulu mungkin. Baru dua minggu. Betah? Entahlah. Hanya Tuhan Yang Maha Mengetahui.

NB : Catatan, saya hanya menulis yang ndak nyaman di saya saja. Yang nyaman, banyak juga. Semua serba otomatis, tidak macet, dan serba modern. Kloset saja jumlah tombolnya lebih banyak daripada tombol gembot.

Update

Teman saya, Gogo, dengan baik hati membuat postingan mengenai solusi untuk masalah “bersuci dengan tisu” di blognya. Silahkan dibaca,bagi yang tertarik.

23 comments

  1. anyong haseyooooo!!!!
    aku mengalami hal yang sama di semua poin kecuali poin kamar mandi hahaha. kalo dulu awal2 juga mikir semuanya susah dsni tapi lama2 pas dibawa hepi, jd terasa lebih ringan. surprisingly, I missed Porto when I was in Indonesia this summer, hahaha.

  2. semua yang berhubungan dengan toilet dan kamar mandi di korea serba ga menyenangkan ya Sun.. tapi tetep yang paling bikin trenyuh ya nomer 5.. oh wait, maen futsal juga.. hehe

      • Terus dah seberapa bisa Hangeul, Sun? Iya, terasa banget batasan bahasa klo ke daerah seperti korea, jepang, china. Termasuk gak bisa baca tulisan.

        • Bisa dibilang gak bisa :v
          Padahal kudunya gampang sih, kayak aksara jawa. cuman jauh dari bahasa inggris/indonesia sih.
          Masih bisa-an aksara jawa atau tulisan arab

    • Bergantung dosen yang ngajar. Ada yang bahasa inggris, ada juga yang “ngotot” pakai bahasa korea. Efeknya, perlu memilih dosen yang mengajar pakai bahasa inggris.

Tinggalkan komentar